Manajemen Risiko

Suatu hari, waktu saya lagi enak-enak duduk sambil minum kopi di warung mbok Jum, datanglah tetangga dekat rumah yang merupakan kawan se-perdobos-an di warung kopi ini.

Mukanya kusut. Datang-datang ia langsung duduk di sebelah saya dan langsung memesan segelas kopi. Namun tak seperti biasanya, kali ini ia memesan kopi hitam, pahit, tanpa gula.

Kemudian ia mengambil sebatang rokok merk pasaran dari dalam toples bekas wadah biskuit yang ada di atas meja. D sulutnya rokok itu dengan korek yang diikat pada tiang kayu penopang atap warung mbok Jum yang terbuat dari terpal. Dihisapnya rokok itu, dan dihembuskannya asapnya kuat-kuat. Seolah ingin sekalian mengeluarkan beban pikiran yang menggelayut di pikirannya.

“kenapa kang?” tanya saya padanya mencoba membuka dobosan gak mutu malam itu. “pikiranku lagi bunek” jawabnya. “kenapa memangnya?” lanjut saya lagi. “pabrik terancam bangkrut” Saya yang merupakan kawannya sesama buruh pabrik terkejut. “mosok kang?” “iya, tadi aku ngobrol sama pak bos. Katanya begitu” sebagai sesama buruh pabrik saya langsung mahfum, pabrik bangkrut berarti akan ada ancaman PHK seperti waktu jaman krisis dulu. Waktu itu gelombang PHK besar-besaran terjadi di seantero negeri. Beruntung bapak saya yang jadi pegawai negeri rendahan tidak perlu mengalami kecemasan seperti yang dialami puluhan ribu buruh waktu itu.

“Tapi kan sampeyan sudah lama kerja di situ kan kan? Mosok iya ada kemungkinan kena juga?”

Ndak ngaruh Fan. Lama ato baru kalo tutup ya nganggur semua..”

“Pabrike sampeyan ndak menerapkan manajemen risiko kali kang?” tiba-tiba Angga, anak bu Intan yang lagi kuliah di sebuah kampus terkenal di Bintaro itu, menyahut.

“Weh, manajemen risiko? Opo iku, Ngga?” tanya saya.

“Manajemen Risiko itu intinya kita mengidentifikasi risiko-risiko di masa depan, trus menyiapkan cara-cara supaya kalau memang bener-bener terjadi, kita udah siap. Ndak kaget lagi.”

“Memangnya gimana kok bisa ndak kaget? tanyaku.

“Soalnya kita sudah menyiapkan cara-cara untuk mengurangi kemungkinan terjadinya. Atau, kalau toh memang terjadi juga, kita sudah menyiapkan cara untuk mengurangi dampaknya”

“Misalnya kang Manto ini, kalau dari awal dia sudah ngeh bahwa jadi buruh itu ya risikonya dipecat, seharusnya dia menyiapkan cara-cara untuk mengantisipasinya. Misalnya kursus njahit, atau kursus bikin roti. Syukur-syukur terus dijadiin kerjaan sampingan sambil tetep nerusin jadi karyawan. Jadi kalau sewaktu-waktu ada PHK, pikiran ndak terlalu ngongso… Sudah punya persiapan… Jadi bisa tidur nyenyak…”

“Ooo…” saya berusaha mengerti bahasa tingkat tinggi yang barusan disampaikan si Angga. “Jadi intinya manajemen risiko itu supaya kita bisa tidur nyenyak ya? Pinter tenan koe, Ngga..”

“Minta rokokmu, Fan” kata kang Manto tiba-tiba. Saya pun menyerahkan rokok filter murahan yang isinya masih setengah, yang saya beli dengan sisa uang jajan harian dari istri.

“Lho, Kang, mau kemana?” tanya saya. “Pulang..” “Rokokku…!” “Aku mau mengurangi risiko kalo nanti uangku habis, jadi rokokmu ku bawa.. “ lanjutnya sambil ngeloyor pergi…

Weee lhaa…. Udah saya yang harus bayar kopinya, rokok saya juga dibawanya kabur. Semprul tenan…

Leave a comment